Sabtu, 23 Agustus 2014

  • 22.53
  • Artikel, Makalah dan Informasi
  • 1 comment
SHALAT DI KUBURAN 
BAGIAN DARI SUNNAH NABI S.A.W. !!
Oleh: Syaikh Idahram 


Dusta Firanda ke-26 & 27, dia berkata:
“Perkataan Al-Baidhowi tentang bolehnya beribadah di kuburan dalam rangka mencari keberkahan bertentangan dengan seluruh dalil yang menunjukan larangan menjadikan kuburan sebagai masjid, karena hadits-hadits tersebut melarang sholat di kuburan secara mutlak, tanpa membedakan niat mencari berkah atau tidak.”[1]
Perkataannya itu mengandung fitnah dan kebohongan-kebohongan, yaitu:
Dusta pertama, Tidak benar jika ibadah di kuburan atau di samping kuburan bertentangan dengan seluruh dalil yang melarang kuburan dijadikan masjid. Yang benar adalah, apa yang telah dijelaskan oleh Imam al-Baidhawi, al-Qhadi Iyadh, Imam an-Nawawi, al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Mufassir al-Qurthubi, Imam Thurbusyti dan para ulama Ahlussunnah lainnya bahwa, seluruh dalil yang melarang kuburan dijadikan masjid tidak bertentangan dengan ibadah di kuburan. Karena maksudnya adalah, menjadikan kuburan sebagai sesembahan dan kiblat dalam shalat.[2] Oleh karena itu, Imam ath-Thibi dalam kitab Syarh al-Misykat berkata:
Ketika orang-orang Yahudi dan Nasrani sujud kepada kuburan para Nabi sebagai bentuk pengagungan dan menjadikannya kiblat dalam shalat, lalu mereka menjadikannya sebagai sesembahan, Allah melaknat mereka. Orang-orang Islam dilarang melakukan itu seperti mereka. Adapun membuat masjid di samping kuburan orang shalih, atau shalat di kuburannya dengan maksud penjiwaan kepada kematian, atau mendapatkan bekas dari ibadahnya, bukan untuk mengagungkannya dan menjadikannya kiblat, maka tidak mengapa. Tidakkah engkau melihat, kuburan Nabi Ismali a.s. ada di dalam Masjidil Haram di sisi Hijir Ismail? Namun shalat di dalamnya lebih afdhal dari shalat di tempat lain? Adapun larangan shalat di kuburan, hanya khusus bagi kuburan-kuburan yang terbongkar jenazahnya, karena di dalamnya ada najis.[3]
Jika dikatakan, shalat di kuburan atau di sisi kuburan bertentangan dengan seluruh dalil, lalu apakah di bawah ini bukan dalil?  
1.    Umat Islam dan seluruh ulamanya sejak masa akhir Sahabat telah ijma’ (konsensus) atas bolehnya memasukkan kuburan Nabi s.a.w. ke dalam kawasan Masjid Nabawi.
2.    Nabi s.a.w. telah mengabarkan bahwa, kuburan dirinya akan berada di dalam masjid melalui sabdanya:
مَا بَيْنَ قَبْرِي وَمِنْبَرِي رَوْضَةٌ مِنْ رِيَاضِ الْجَنَّةِ. (رواه أحمد)
Apa yang ada di antara kuburanku dan mimbarku adalah taman dari taman-taman surga. (HR. Ahmad, Nasa`i, Baihaqi, Thabarani, ath-Thahawi, Ibnu Abu Syaibah, dan lainnya)[4]
Dalam Shahih Bukhari pada tema: ‘Keutamaan Tempat antara Kuburan dan Mimbar’ (Fadhl ma baina al-Qabr wa al-Mimbar) dan Sahih Muslim pada tema: ‘Apa yang Ada di antara Kuburan dan Mimbar adalah Taman dari Taman-taman Surga’ (Ma baina al-Qabr wa al-Mimbar Raudhah min Riyadh al-Jannah) redaksinya sedikit berbeda:
مَا بَيْنَ بَيْتِي وَمِنْبَرِي رَوْضَةٌ مِنْ رِيَاضِ الْجَنَّةِ. (صحيح البخاري ومسلم)
Apa yang ada di antara rumahku dan mimbarku adalah taman dari taman-taman surga. (Shahih Bukhari dan Muslim)[5]
3.    Berbagai kitab sejarah, tafsir dan hadis menjelaskan bahwa Nabi Ismail a.s. dan beberapa nabi lainnya telah dimakamkan di dalam Masjidil Haram. Keterangan tentang masalah ini terdapat dalam banyak kitab seperti, kitab Akhbar Makkah karya al-Azraqi, Fadhail Makkah karya al-Fakihi, Syifa al-Gharam karya al-Hafizh Taqiuddin al-Fasi al-Makki, kitab ath-Thabaqat karya Ibnu Sa’ad, Sirah ibnu Hisyam, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari, Tafsir Ibnu Abu Hatim, al-Mushannaf karya Abdurrazzaq, kitab al-Atsar karya Imam Muhammad ibnu Hasan asy-Syibani, kitab al-Mustadrak karya Imam al-Hakim dan lain sebagainya.[6]
Dalam kitab Fadhail Makkah karya al-Fakihi dan kitab Syifa al-Ghraram karya al-Hafizh Taqiyuddin al-Fasi al-Makki disebutkan bahwa, di antara Rukun Yamani, Maqam Ibrahim dan Sumur Zamzam ada 99 Nabi yang telah dimakamkan di tempat itu. Sedangkan Kuburan Nabi Hud, Syu’aib, Shalih dan Ismail a.s. berada di dekat Hajar Aswad.[7] Imam Muhammad ibnu Hasan berkata dari Imam Abu Hanifah dari Salim al-Afthasi berkata, “Tidak seorang pun nabi yang lari dari kaumnya ke Ka’bah kecuali dia menyembah tuhannya, dan di sekitar Ka’bah ada sekitar 300 kuburan para Nabi.”[8]
Al-Azraqi dalam kitabnya Akhbar Makkah, Ibnu Jarir ath-Thabari dalam Tafsir ath-Thabari, dan Ibnu Abu Hatim dalam Tafsir Ibnu Abu Hatim telah mengeluarkan hadis dari Atha ibnu as-Sa`ib dari Sabith dari Nabi s.a.w. bersabda:
كان النبي من بني الأنبياء إذا هلكت أمته لحق بمكة فيتعبد فيها النبي ومن معه حتي يموت فيها، فمات بها نوح وهود وصالح وشعيب، وقبورهم بين زمزم والحجر
Dahulu, seorang nabi jika umatnya binasa, maka dia mendatangi Ka’bah. Nabi dan orang-orang yang bersamanya itu beribadah di Ka’bah sampai meninggal dunia di tempat itu. Telah wafat di Ka’bah Nuh, Hud, Shalih dan Syu’aib. Kuburan-kuburan mereka ada di antara sumur Zamzam dan Hijr Ismail. (Diriwayatkan oleh al-Azraqi, ath-Thabari dan Ibnu Abu Hatim)[9]
Adapun redaksi dari Ibnu Jarir ath-Thabari begini:
“دحيت الأرض من مكة، وكانت الملائكة تطوف بالبيت، فهي أول من طاف به، وهي الأرض التي قال الله تعالي: إني جاعل في الأرض خليفة. وكان النبي إذا هلك قومه أو نجا هو والصالحون أتي هو ومن معه فعبدوا الله بها حتي يموتوا، فإن قبر نوح وهود وصالح وشعيب بين زمزم والركن والمقام.”
“Bumi telah dibentangkan dari Mekkah dan malaikat (ketika itu) thawaf di Ka’bah. Dialah yang pertama kali thawaf di Ka’bah. Dan Mekkah adalah tanah yang Allah s.w.t. telah berfirman, ‘Sesungguhnya aku membuat khalifah di bumi.’ Seorang nabi jika kaumnya binasa, atau dia selamat bersama orang-orang shalih, maka dia dan orang-orang yang bersamanya datang ke Ka’bah hingga mereka meninggal dunia. Sesungguhnya kuburan Nuh, Hud, Shalih, Syu’aib ada di antara sumur Zamzam, Rukun Yamani dan Maqam Ibrahim.” (Diriwayatkan oleh al-Azraqi, ath-Thabari dan Ibnu Abu Hatim)
Sanad hadis ini mursal shahih, perawi dari Atha ibn as-Sa`ib dalam riwayat Abu al-Walid al-Azraqi dan Abu Hatim ar-Razi adalah Hammad ibnu Salamah. Hadis ini shahih, karena Hammad telah mendengarnya dari Atha sebelum ikhthilat (sering tertukar dalam meriwayatkan hadis). Sedangkan Ibnu Sabith di sini adalah, Muhammad ibnu Sabith, demikian menurut al-Azraqi.
4.    Telah jelas dan shahih bahwa, beberapa orang nabi telah dimakamkan di dalam Masjid Khaif, di Mina, Jazirah Arab.[10] Imam al-Bazzar dalam kitab Musnadnya Kasyf al-Astar pada hadis 1177, juga Imam ath-Thabarani dalam Mu’jam al-Kabir, hadis no. 13525,[11] riwayat dari Ibrahim ibnu Thahman dari Manshur dari Mujahid dari Ibnu Umar dari Rasulullah s.a.w. bersabda:
فِي مَسْجِدِ الْخَيْفِ قُبِرَ سَبْعِيْنَ نَبِيًّا. (رواه الطبراني والبزار)
Di dalam masjid al-Khaif telah dikuburkan tujuh puluh orang Nabi (HR. ath-Thabarani dan al-Bazzar)[12]
Lalu Imam al-Bazzar berkata, “Kami tidak mengetahui riwayat Ibnu Umar yang lebih shahih dari ini, Ibrahim telah meriwayatkannya dari Manshur sendirian.” Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Mukhtshar Zawaid al-Bazzar pada hadis nomor 813 juga berkata, “Dia (hadis ini) sanadnya shahih.” al-Hafizh al-Haitsami dalam kitabnya Majma az-Zawaid pada jilid 3 halaman 297 juga berkata, “Hadis ini telah diriwayatkan oleh al-Bazzar dan para perawinya terpercaya.”
5.    Telah shahih, beberapa orang Sahabat telah membangun masjid di atas kuburan seorang Sahabat bernama Mujahid Abu Bashir r.a. dan Nabi s.a.w. membenarkan kejadian itu:
عن يونس بن بكير عن ابن إسحاق عن الزهري عن عروة بن الزبير عن المسور ومروان قالا في قصة الحديبية: فقرأ أبو جندل كتاب رسول الله صلي الله عليه وسلم وأبو بصير مريض، فمات فدفنه أبو جندل وصلي عليه، وبني على قبره مسجدا.” (أخرج ابن الأثير في أسد الغابة 5/35)
Dari Yunus ibnu Bukair dari Ibnu Ishaq dari az-Zuhri dari Urwah ibnu Zubair dari al-Miswar dan Marwan keduanya telah berkata tentang kisah Hudaibiyah: Maka Abu Jandal membacakan surat dari Rasulullah s.a.w.  di hadapan Abu Bashir yang sedang sakit. Lalu dia meninggal dunia. Maka Abu Jandal menguburkan dan menshalatkannya, lalu membangun di atas kuburannya sebuah masjid. (HR. Ibnu al-Atsir)[13]
“دفنه أبو جندل مكانه وجعل عند قبره مسجدا. (رواه البيهقي في دلائل النبوة 4/172)
“Abu Jandal telah menguburkannya (Abu Bashir) di tempatnya dan membangun sebuah masjid di kuburannya.” (HR. Baihaqi)[14]
Hadis tentang kisah Abu Bashir r.a. ini juga diriwayatkan oleh Abdur Razzaq dalam Mushannafnya, Ibnu Ishaq dalam as-Sirah an-Nabawiyyah dan Musa ibnu Uqbah dalam al-Maghazi.
Kitab al-Maghazi karya Musa ini merupakan kitab maghâzî (peperangan Nabi) yang paling shahih, sebagaimana disampaikan Imam Malik. Ketiga ulama ini (Ma’mar, Ibnu Ishaq dan Musa ibnu Uqbah) telah meriwayatkan hadis tersebut dari az-Zuhri, dari Urwah ibnu Zubair, dari al-Miswar ibnu Makhramah dan Marwan ibnul Hakam r.a., bahwa Abu Jandal ibnu Suhail ibnu Amr menguburkan jenazah Abu Bashir r.a., lalu membangun sebuah masjid di atas kuburannya yang terletak di Siful Bahr. Kejadian itu diketahui oleh Rasulullah s.a.w. dan tiga ratus sahabat lainnya, dan sanad riwayatnya adalah shahih. Semua perawi dalam silsilah sanadnya adalah tsiqah.
Para ahli sejarah juga telah menjelaskan peristiwa yang dialami Abu Jandal dengan mengatakan, “Suatu saat, sepucuk surat Rasulallah sampai ke tangan Abu Jandal. Waktu surat itu sampai, Abu Bashir (sahabat Nabi yang ditemani oleh Abu Jandal) tengah mengalami sakaratul maut. Beliau meninggal dengan posisi menggenggam surat Rasulallah s.a.w. Kemudian Abu Jandal mengebumikan Abu Bashir di tempat itu dan membangun masjid di atasnya.”[15]
6.    Siti Aisyah r.a. selalu shalat di dalam rumahnya yang disitu ada kuburan Nabi Muhammad s.a.w.
كَانَ أَبُو هُرَيْرَةَ يُحَدِّثُ وَيَقُولُ اسْمَعِي يَا رَبَّةَ الْحُجْرَةِ اسْمَعِي يَا رَبَّةَ الْحُجْرَةِ وَعَائِشَةُ تُصَلِّي فَلَمَّا قَضَتْ صَلَاتَهَا قَالَتْ لِعُرْوَةَ أَلَا تَسْمَعُ إِلَى هَذَا وَمَقَالَتِهِ آنِفًا إِنَّمَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحَدِّثُ حَدِيثًا لَوْ عَدَّهُ الْعَادُّ لَأَحْصَاهُ. (صحيح مسلم)
“Abu Hurairah pernah menyampaikan hadis (di samping kamar Aisyah) lalu berkata, ‘dengarkanlah wahai pemilik kamar, dengarkanlah wahai pemilik kamar’ dan Aisyah sedang shalat. Ketika Aisyah telah menyelesaikan shalatnya dia berkata kepada Urwah, ‘Tidakkah engkau mendengar (orang) ini dan ucapannya tadi? Sesungguhnya Nabi s.a.w. pernah menyampaikan hadis, (namun) jika dihitung (jumlahnya) oleh orang yang menghitungnya pasti bisa dihitung.’” (Shahih Muslim)[16]
7.    Ketika masjid penuh dengan orang-orang yang akan shalat Jumat, para sahabat Nabi s.a.w. masuk ke kamar di mana beliau s.a.w. dikuburkan, untuk melakukan shalat Jumat. Hadis ini juga terdapat dalam kitab ar-Radd ‘ala al-Akhna`i karya Ibnu Taimiyah (tokoh idola Wahabi), pada halaman 121 Ibnu Taimiyah berkata:
“وقال أبو زيد: حدثنا القعنبي وأبو غسان عن مالك قال: كان الناس يدخلون حجر أزواج النبي صلى الله عليه وسلم ويصلون فيها يوم الجمعة بعد وفاة النبي صلى الله عليه وسلم، وكان المسجد يضيق بأهله.”
“Dan Abu Zaid berkata: Qa’nabi dan Abu Ghassan telah menyampaikan hadis kepadaku dari Malik, dia berkata: Orang-orang (para Sahabat Nabi) masuk ke kamar isteri-isteri Nabi s.a.w. (yang di dalamnya ada kuburan Nabi s.a.w.) dan shalat di dalamnya pada hari Jumat setelah wafatnya Nabi s.a.w., masjid pada saat itu penuh dengan pengunjungnya.”[17]
8.    Ulama Islam dari berbagai mazhab Fikih telah sepakat (ijma’) atas bolehnya shalat di tempat yang di dalamnya ada kuburan jika aman dari najis.[18]
Ulama Mazhab Hanafi misalkan, telah menghukuminya makruh tanzihiyah (makruh yang bukan haram, hanya kurang disukai saja).[19] Mazhab Maliki menghukuminya boleh jika aman dari najis.[20] Sedangkan Mazhab Syafii menghukuminya boleh jika kuburannya tidak terbongkar yang mengakibatkan adanya najis. Imam Syafi’i dalam Mukhtashar al-Muzanni berkata:
فلو صلى فوق قبر أو إلى جنبه ولم ينبش أجزأه.
“Maka jika dia shalat di atas kuburan atau ke sampingnya dan (kuburannya) tidak terbongkar maka mencukupinya.[21]
Imam asy-Syirazi asy-Syafi’i dalam al-Muhadzdzab berkata:
فإن صلى في مقبرة نظر كانت مقبرة تكرر فيها النبش لم تصح صلاته، لأنه قد اختلط بالأرض صديد الموتى، وإن كانت جديدة لم تنبش كرهت صلاته فيها، لأنها مدفن النجاسة والصلاة صحيحة.
Maka jika dia shalat di kuburan, dilihat (dahulu), (jika) kuburannya sering terbongkar yang di dalamnya ada najis, (maka) tidak sah shalatnya, karena cairan mayat sudah bercampur dengan tanah. Jika kuburannya baru (dan) tidak terbongkar, (maka) shalatnya di kuburan makruh, karena kuburan itu tempat terkubur najis, adapun (hukum) shalatnya sah.
Bahkan Imam Nawawi yang dikatakan Firanda telah mengharamkan shalat di kuburan, justru berkata dalam al-Majmu:
إن تحقق أن المقبرة منبوشة لم تصح صلاته فيها بلا خلاف إذا لم يبسط تحته شيئاً ، وإن تحقق عدم نبشها صحت بلا خلاف ، وهي مكروهة كراهة تنزيه.
“Jika kuburannya didapati terbongkar, (maka) tidak sah shalatnya di kuburan tanpa diperselisihkan, (itu pun) jika tidak dialasi sesuatu di bawahnya (seperti tikar, plastik, kayu atau semisalnya). Jika didapati kuburannya tidak terbongkar, (maka) shalatnya sah tanpa diperselisihkan, namun makruh karahiyah tanzih.”[22]
Begitu juga dengan Mazhab Hanbali, menghukumi boleh shalat di kuburan jika tidak terdapat najis.[23]
Dusta kedua, tidak benar jika “hadits-hadits tersebut melarang secara mutlak. Lalu bagaimana dengan kenyataan tentang adanya banyak hadis yang menyatakan, Nabi dan para sahabatnya shalat di kuburan. Di antaranya adalah hadis ini:
قَالَ الشَّعْبِيَّ: أَخْبَرَنِي مَنْ مَرَّ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى قَبْرٍ مَنْبُوذٍ فَأَمَّهُمْ وَصَلَّوْا خَلْفَهُ قُلْتُ مَنْ حَدَّثَكَ هَذَا يَا أَبَا عَمْرٍو؟ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا. (صحيح البخاري ومسلم)
Asy-Sya’bi berkata, ‘Orang-orang yang singgah bersama Rasulullah s.a.w. di pekuburan yang sedikit telah mengabarkanku (bahwa), Rasulullah telah mengimami mereka dan para sahabat berbaris di belakangnya (untuk bermakmum).’ Aku berkata, ‘siapa yang menyampaikan hadis ini wahai Abu Amr?’ Dia menjawab, ‘Ibnu Abbas.’ (HR. Bukhari dan Muslim)[24]
Cukup banyak hadis-hadis shahih menyatakan bahwa, Nabi s.a.w. telah memerintahkan para sahabatnnya untuk membangun masjid di atas areal pekuburan, dan Nabi s.a.w. orang yang paling mengerti tentang tauhid, karena beliau diutus untuk itu. Di antara masjid-masjid yang dibangun di atas areal pekuburan adalah masjid Thaif, bahkan di atas pekuburan orang-orang kafir:
"عَنْ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي الْعَاصِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَهُ أَنْ يَجْعَلَ مَسْجِدَ الطَّائِفِ حَيْثُ كَانَ طَوَاغِيتُهُمْ." (رواه أبو داود وابن ماجه والبيهقي والحاكم والطبراني وأبو نعيم)
Dari Utsman ibnu Abu al-Ash bahwa, Nabi s.a.w. telah memerintahkannya untuk membangun Masjid Thaif di tempat para thagut (dikuburkan). (HR. Abu Daud, Ibnu Majah, Baihaqi, Hakim, Thabarani dan Abu Nuaim)[25]
Selanjutnya, Nabi s.a.w. juga telah memerintahkan sahabatnya untuk membangun Masjid Nabawi di atas puing-puing pekuburan orang-orang musyrik Bani Najjar:
عَنْ اَنَسٍ اَنَّ النَّبِيّ ص كَانَ يُحِبُّ اَنْ يُصَلّي حَيْثُ اَدْرَكَتْهُ الصَّلاَةُ. وَيُصَلّى فِى مَرَابِضِ اْلغَنَمِ. وَاَنَّهُ اَمَرَ بِبِنَاءِ اْلمَسْجِدِ، فَاَرْسَلَ اِلَى مَلَإِ مِنْ بَنِى النَّجَّارِ فَقَالَ: يَا بَنِى النَّجَّارِ، ثَامِنُوْنِى بِحَائِطِكُمْ هٰذَا. قَالُوْا: لاَ، وَاللهِ مَا نَطْلُبُ ثَمَنَهُ اِلاَّ اِلىَ اللهِ. فَقَالَ اَنَسٌ: وَكَانَ فِيْهِ مَا اَقُوْلُ لَكُمْ. قُبُوْرُ اْلمُشْرِكِيْنَ. وَفِيْهِ خَرِبٌ وَفِيْهِ نَخْلٌ. فَاَمَرَ النَّبِيُّ ص بِقُوُرِ اْلمُشْرِكِيْنَ فَنُبِشَتْ ثُمَّ بِالْخَرِبِ فَسُوّيَتْ، ثُمَّ بِالنَّخْلِ فَقُطِعَ. فَصَفُّوا النَّخْلَ قِبْلَةَ اْلمَسْجِدِ وَجَعَلُوْا عِضَادَتَيْهِ اْلحِجَارَةَ. وَجَعَلُوْا يَنْقُلُوْنَ الصَّخْرَ وَهُمْ يَرْتَجِزُوْنَ وَالنَّبِيُّ ص مَعَهُمْ. وَهُوَ يَقُوْلُ: اَللّهُمَّ لاَ خَيْرَ اِلاَّ خَيْرُ اْلآخِرَه، فَاغْفِرْ ِلـْلاَنْصَارِ وَاْلمُهَاجِرَه. (صحيح البخاري ومسلم)
“Dari Anas, ia berkata: Sesungguhnya Nabi SAW senang sekali shalat dimana beliau mendapatkan (waktu) untuk shalat itu. Dan beliau pernah shalat di kandang kambing. Dan sesungguhnya beliau menyuruh mendirikan masjid, lalu beliau menyuruh kepada para ketua Bani Najjar, dan bersabda, ‘Hai Bani Najjar, juallah kebunmu ini kepadaku!’ Mereka menjawab, ‘Demi Allah, kami tidak akan meminta harganya melainkan (kami berikan) kepada Allah.’ Lalu Anas berkata, ‘Di dalam kebun itu ada apa yang aku katakan kepada kalian, yaitu qubur orang-orang musyrik, ada lubang-lubang dan ada pohon kurmanya.’ Nabi s.a.w. menyuruh kuburan orang-orang musyrik dibongkar, lubang-lubang diratakan, dan pohon-pohon kurmanya dipotong. Kemudian para sahabat membariskan pohon-pohon kurma sebagai (dinding) qiblat masjid, dan mereka membuat dua tiang pintunya dari batu. Mereka memindahkan batu-batu sambil bersenandung (bernasid), sedang Nabi SAW bersama mereka, dan beliau pun mengucapkan (yang artinya), ‘Ya Allah, tiada kebaikan selain kebaikan akhirat, maka ampunilah sahabat-sahabat Anshar dan Muhajirin.’” (HR. Bukhari dan Muslim)[26]
Imam Ibnu Bathal dalam Syarh Shahih al-Bukhari berkata:
وقد تدل من الإسلام على كل مكان فاضل يطاع الله فيه كقبر رسول الله ، وحلق الذكر ، وجوامع الخير ، وقبور الصالحين لقوله صلى الله عليه وسلم: ما بين قبرى ومنبرى روضة من رياض الجنة.
“Hadis ar-Raudhah menunjukkan, di antara ajaran Islam (adanya) tempat utama yang Allah ditaati di dalamnya seperti, kuburan Rasulullah, halaqah-halaqah dzikir, majelis-majelis kebaikan dan kuburan-kuburan orang shalih, karena (adanya) sabda Rasulullah s.a.w., ‘Apa yang ada di antara kuburanku dan mimbarku adalah taman dari taman-taman surga.’”[27] 
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam menjelaskan hadis tentang “Laknat Allah kepada orang-orang Yahudi yang menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masajida (tempat-tempat sujud)berkata:
فَوَجْه التَّعْلِيل أَنَّ الْوَعِيد عَلَى ذَلِكَ يَتَنَاوَل مَنْ اِتَّخَذَ قُبُورهمْ مَسَاجِد تَعْظِيمًا وَمُغَالَاة كَمَا صَنَعَ أَهْل الْجَاهِلِيَّة وَجَرّهمْ ذَلِكَ إِلَى عِبَادَتهمْ،... فَعُرِفَ بِذَلِكَ أَنْ لَا تَعَارُض بَيْن فِعْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نَبْش قُبُور الْمُشْرِكِينَ وَاِتِّخَاذ مَسْجِده مَكَانهَا وَبَيْن لَعْنه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ اِتَّخَذَ قُبُور الْأَنْبِيَاء مَسَاجِد لِمَا تَبَيَّنَ مِنْ الْفَرْق. (فتح الباري لابن حجر باب: هل تنبش قبور مشركي الجاهلية 2/147)
“Maka alasannya, bahwa ancaman itu bagi orang-orang yang menjadikan kuburan mereka sebagai masjid (tempat sujud) untuk pengagungan dan hal-hal yang berlebihan, seperti apa yang telah dilakukan orang-orang jahiliyah dan itu menarik mereka kepada penyembahan mereka (para nabi)... Maka dengan itu dipahami bahwa, tidak ada kontradiksi antara perbuatan Nabi s.a.w. dalam membongkar kuburan orang-orang musyrik dan membangun masjidnya di atas tempat tersebut dengan kecaman beliau s.a.w. terhadap orang yang menjadikan kuburan para nabi sebagai masjid, karena jelas perbedaannya.”[28]
Di antara sebab, kenapa Sayidina Ali ibnu Abu Thalib karramallahu wajhah sering dipanggil dengan gelaran Abu Turab (bapaknya debu) adalah, karena beliau sering berada di areal tanah pekuburan, beliau shalat, dzikir dan tidur di sana! Lantas, apakah Ali ibnu Abu Thalib r.a. ini sebagai ahlul bid’ah dan musyrik?! 
Lalu, mana bukti dari klaim Firanda yang mengatakan, shalat di kuburan “bertentangan dengan seluruh dalil… karena hadits-hadits tersebut melarang sholat di kuburan secara mutlak” kecuali dusta?!


[1] http://firanda.com/index.php/artikel/bantahan/187
[2] al-Qhadi Iyadh dalam kitab Ikmal al-Muallim 2/450-452, Imam an-Nawawi dalam Shahih Muslim 3/17 cetakan Syaiha, al-Qurthubi dalam al-Mufham 2/128, Thurbusyti dalam al-Mir’at Syarh al-Misykat 2/419.
[3] Imam ath-Thibi, Syarh al-Misykat, jilid 2, hal.235
[4] HR. Ahmad dalam Musnadnya hadis no. 11185, Nasa`I dalam Sunan al-Kubra 2/489, Baihaqi dalam Sunan al-Kubra 5/246, Thabarani dalam Mu’jam al-Kabir 10/434 no. 12978, ath-Thahawi dalam Musykil al-Atsar 6/366 no. 2411, Ibnu Abu Syaibah dalam Mushannafnya 7/413, al-Harits dalam Musnadnya 2/134 no. 394, ar-Royani dalam Musnadnya 3/143 no. 989.
[5] Shahih Bukhari no. 1120, 1121, 1755, 6100 & 6790. Shahih Muslim no. 2463 & 2465.
[6] Al-Azraqi: Akhbar Mekkah jilid 1 hal. 68 & jilid 2 hal. 133, Tafsir ath-Thabari jilid 1 hal. 199, Tafsir Ibnu Abu Hatim jilid 1 hal. 318, Tafsir Ibnu Katsir jilid 1 hal. 100, Tafsir ath-Thabari jilid 1 hal. 448, al-Fakihi: Fadhailu Mekkah, al-Hafizh Taqiuddin al-Fasi: Syifa al-Gharam jilid 1 hal. 350-351, Abdurrazzaq: al-Mushannaf no. 9129, asy-Syibani: kitab al-Atsar no. 266 & 454, al-Hakim: al-Mustadrak jilid 2 hal. 563, Ibnu Sa’ad: ath-Thabaqat jilid 1 hal. 43-44, Sirah ibnu Hisyam jilid 1 hal. 42, dll.
[7] al-Hafizh Taqiuddin al-Fasi al-Makki, Syifa al-Gharam, jilid 1, halaman 350-351.
[8] Muhammad ibnu Hasan asy-Syibani, al-Atsar, hadis nomor 266.
[9] Al-Azraqi, Akhbar Mekkah, jilid 1 hal. 68 dan jilid 2 hal. 133. Ibnu Jarir ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari, jilid 1 hal. 199. Ibnu Abu Hatim, Tafsir Ibnu Abu Hatim, jilid 1 hal. 318.
[10] Mesjid al-Khaif terletak di kawasan Mina (tempat menginap para jamaah haji setelah mabit di Mudzdalifah), tepatnya di di kaki gunung Shabih sebelah selatan Mina, tidak jauh dari tempat melempar Jumrah Ula.
[11] Imam ath-Thabarani, Mu’jam al-Kabir jilid 12 halaman 316, nomor hadis 13525.
[12] Musnad al-Bazzar, Kasyf Al Astar jilid 2, hal. no 1177 dan Mu’jam al-Kabir jilid 12 hal. 316 nomor 13525
[13] Ibnu al-Atsir, Usud al-Ghabah, jilid 5 hal. 35.
[14] Al-Baihaqi, Dalail an-Nubuwah, jilid 4, hal. 172.
[15] Kisah ini dapat dilihat dalam karya Ibnu Asakir dalam kitab Tarikh Ibnu Asakir jilid 8 halaman 334, dan kitab al-Isti’ab karya Ibnu Hajar jilid 4 halaman 21-23. Hadis tersebut telah diriwayatkan oleh Ibnu Abdul Bar dalam kitab al-Isti’ab jilid 4, halaman 21.
[16] Shahih Muslim, bab at-Tatsabbuti fi al-Haditsi wa Hukmi Kitabati l-’Ilmi 4/290, no. hadis 5325.
[17] Ibnu Taimiyah al-Harrani, ar-Radd ‘ala al-Akhna`i, hal. 121.
[18] Lihat juga kitab: Kasyaf al-Qana’ 2/139, al-Inshaf 2/549, Hasyiyah ar-Ruhuni ala Syarh az-Zarqani 2/236, al-Mi’yar 1/321,329.
[19] Lihat: kitab ad-Dur al-Mukhtar jilid 1, hal. 254 dan I’la as-Sunan jilid 5, hal. 135.
[20] Lihat: asy-Syarh al-Kabir jilid 1, hal. 188 dan asy-Syarh as-Shaghir karya Ahmad ad-Dardir jilid 1, hal. 267.
[21] Mukhtashar al-Muzanni halaman 19.
[22] Syarafudiin an-Nawawi, al-Majmu, jilid 3, op. cit., hal. 164.
[23] Lihat: al-Mughni karya Ibnu Qudamah jilid 2, hal. 471.
[24] Shahih Bukhari hadis nomor 857 dan 1336, Shahih Muslim hadis nomor 9554.
[25] Sunan Abu Daud, bab Dalam Membangun Masjid, jilid 2 hal. 36, no. 380. Sunan ibnu Majah, bab Di Mana Boleh Membangun Masjid, jilid 2 hal 450, no. 735. Sunan al-Baihaqi jilid 2, hal. 439. al-Mustadrak lil Hakim jilid 15 hal. 274. Mu’jam al-Kabir li ath-Thabarani no. 8274. Abu Nuaim dalam Ma’rifat ash-Shahabah jilid 14, hal. 87.
[26] Shahih Bukhari, Apakah Kuburan Orang Musyrik Jahiliyah Dibongkar dan Tempatnya Dijadikan Masjid, jilid 2, hal. 202, no. 410. Shahih Muslim, Membangun Masjid Nabi s.a.w., jilid3, hal. 114, no. 816.
[27] Abu al-Hasan Ali ibnu Khalaf ibnu Abdul Malik ibnu Bathal al-Qurthubi, Syarh Shahih al-Bukhari, Maktabah ar-Rusyd, Riyadh-Saudi Arabia 2003, cet. ke-2, jilid 9, hal. 533.
[28] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, bab Apakah Kuburan Orang-orang Musyrik Jahiliyah Dibongkar, jilid 2, hal. 147 (maktabah syamilah).

1 komentar:

Sample Text

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget